Minggu, 13 Desember 2009

BUNGA UNTUK IBU

Jum’at pagi diantara rencana yang telah tersusun rapi, aku menuju pertokoan. Alunan suara The Beatles dalam liriknya ‘Mother Nature’s Son’ mengalir lembut dari tape mobilku. Hari ini, ibuku ulang tahun yang ke-60. Ini pertama kalinya aku mengingat ulang tahunnya. Tahun-tahun sebelumnya hanya ayahku yang selalu mengingatnya. Tapi karena ayahku kini sudah beristri lagi, dia sudah lupa, atau pura-pura lupa kalau hari ini adalah hari istimewah ibuku. Sejak menikah lagi delapan bulan lalu, ayahku jarang menjenguk ibuku. Mungkin karena sudah tua, ibuku tidak menarik lagi. Apalagi penyakit sesak nafas ibuku sering kambuh membuat ayahku tidak tahan. Kini ayahku beristri dengan perempuan yang lebih muda 20 tahun dari ibuku. Ibuku tidak menolak dia menikah lagi. Ibuku sadar jika fungsinya sebagai istri tidak sesempurna dulu lagi. Tapi, kami anak-anaknya menyesalkan keputusan ayah. Arni, kakakku pernah membuat telinga ayah merah, “ayah, coba jadi perempuan. Ayah akan rasakan sakitnya dimadu”. Ibu cepat-cepat menenangkan Arni. “sudah-sudah, ayah masih mencintai kita”. Meski ibu sering menenangkan kami jika kami menggunggat ayah, kami tetap membenci ayah. Kami tidak pernah lagi bertatap muka langsung dengan ayah. Yah…kami membencinya.
Pertokan tidak jauh lagi. Masih dalam lagu The Beatles ‘Cry baby cry’ mengantarku kehalaman salah satu toko bunga. Aku ingin mempersembahkan bunga untuk ulang tahun ibuku. Aku memilih bunga ‘Baby’s Breath’. Bunga yang menyimbolkan kebahagiaan. Kutanyakan harganya kekasir, tak menyangka harganya lebih murah dari keindahan maknanya.
Setelah bunga itu di permak lebih rapi dan indah, aku bergegas menuju parkiran mobil. Belum sempat aku membuka pintu mobil, terdengar suara tangis anak kecil tidak jauh dari pintu toko bunga itu. Aku menoleh. Seorang anak perempuan sedang menangis menghadap di etalase toko bunga. Penasaran dengan suara tangisnya yang kian keras dan sedih, aku mendekatinya untuk mencari tahu.
“Kenapa menangis?’ tanyaku sambil memegang pundaknya.
“Aku ingin membeli bunga untuk ibuku” suaranya serak, “tapi uangku tak cukup” lanjutnya.
Tanpa berpikir panjang, kuajak anak itu masuk ke toko bunga itu. “pilihlah, nanti aku yang bayar”
“Terima kasih, kak” balasnya
Tampak dia bahagia sekali mengganggam bunga ‘Mawar Merah’. Senyumnya mulai mengembang dan menatap bahagia ke arahku.
“Dimana rumahmu ibu?” aku bertanya di sela-sela kebahagiaannya.
“Di pojok pegunungan ujung jalan ini” dia menunjuk jauh, “kenapa?”
“Aku akan mengantarmu menemui ibumu?”
“Betulkah” dia melompat kegirangan
Didalam perjalanan, anak itu menceritakan betapa baik ibunya. Sangat sayang kepadanya dan selalu giat bekerja. Pagi-pagi buta, dia sudah bangun mempersiapkan sarapan kami. Menyiapkan seragam ayahnya, sekolahnya, dan membereskan semua yang berantakan.
“Ibumu ulang tahun hari ini?” aku bertanya sekenanya saja. Dia hanya tersenyum tanpa jawaban atau anggukan. Kuterka saja, mungkin ibunya ulang tahun hari ini. Sama dengan ibuku.
“Bunga itu untuk siapa?” dia balik bertanya
“Untuk ibuku juga”
“Ibumu sudah meninggal?” tanyanya serius
“Masih hidup, hari ini ulang tahunnya” Aku merasa heran dengan pertanyaannya. Semoga itu bukan do’a. Tiba-tiba mukanya menjadi sedih. Berubah begitu cepat.
“Kita berhenti di sini” pintanya dengan suara datar
“Ini kan pekuburan?” aku semakin heran
“Ibuku sekarang tinggal di sini” dia membuka pintu mobil dan berjalan lambat kedalam pekuburan. Aku mengikuti langkahnya dari belakang sambil menengok kiri-kanan mencari rumah ibunya yang dimaksud. Tapi di pekuburan itu tak satu pun rumah yang nampak. Hanya kuburan berderet tak teratur. Tak sepatah kata pun aku ucapkan dari heran yang semakin menyelimutiku.
Di tengah-tengah pekuburan, dia berhenti. Dia duduk bersimpuh di sebuah kubur dengan tanah yang masih basah. Di letakkannya bunga Mawar Merah di batu nisan. Kurasakan ratap sedih di dalam hatinya. Dia menutup mata. Berdo’a.
Tak lama aku memperhatikan keadaannya. Segera aku meninggalkannya dalam kekhusyukan. Di dalam mobil, The beatles kembali mengiringi perjalanannku ke rumah ibuku. Alunan suaranya yang sangat merdu dalam lagunya ‘Let it be’. Dalam hati aku berdo’a. Semoga ibu dalam keadaan gembira menemuiku hari ini.

Selasa, 22 September 2009

MENUNGGU SATU KALIMAT

Suatu saat, ketika kau berdiri di atas bukit. Mendengarkan desir angin lembut yang menjalar kedalam hatimu dengan bunyi serasi. Menatap kabut dan takjub seketika. Ketika melihat cahaya kelap-kelip muncul dari kabut. Banyak kelap-kelip, beterbangan kian terang kian dekat menuju batu tempatmu berdiri.
Lalu kau lantumkan banyak syair tentang semburan gunung dan malapetaka laharnya. Syairmu dari malam. Malam yang tak bisa kau lawan, tak ingin kau lawan, namun enggan kau titipkan untuk setahun, dua tahun, atau beribu-ribu tahun yang akan datang. Lalu kau menoleh pada kehendak, yang memiliki kehendak. Semesta ilmunya yang rapuh bercerita kepastian, keteraturan, yang teracak olehmu. Setujunya akan lenyap oleh banyak kemungkinanmu dan ketidakmungkinanmu.
Diantara banyak syair, ada sedikit sunyi. Sesaat menyadari, kekacauan; mengintip, berdesir, berbisik, sembunyi di balik keteraturan yang membatu dan sebentuk hutan rimba.
Di ruang-ruang putih, kau sengaja menjatuhkan huruf-huruf hitam tak berbentuk. Patah dan tumpang tindih. Kalimat-kalimat putus sebelum mencapai tepian kertas. Namun serupa teriakan, serupa syair yang kau lantumkan di atas bukit. Ketika kau menatap sekitar, tampak banyak hantaman kata-kata, bukan nyawa-nyawa. Banyak kalimat, dan kau butuh satu saja kalimat. Yang membuat mata ternganga. Sayang kau tak memilikinya…..lalu siapa yang memilikinya. Kau menunggu.
Dalam rentang waktu menunggu, kau mencoba menjadikan dirimu seperti apa yang kau tunggu. Seperti bunga matahari, seperti cakar harimau, seperti bintang, seperti bulan, bahkan seperti Percikan api yang akan membakar ilalang. Dan pada saat yang sama kau melawan dirimu, melawan egomu, melawan nafsumu, melawan semua hal yang tak produktif.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG SELALU RESAH dan MASIH BERJUANG UNTUK RESAH….I LOV YU PULL)

DARI ISTRIMU

Kau melihatnya tergeletak jatuh tak berpenghuni. Kau meraih tangannya dan mengapitnya menuju singgasana. Menyelipkan bunga melati putih di rambutnya. Cahaya lampu-lampu, nokhtah-nokhtah tampak kian terang, kian jernih setelah tibamu di langit malam. Kau tak mempersoalkan lagi di mana jatuhnya, tak lagi peduli, tak merasa perlu.
Malam, kau menatap cahaya terbentang, manatap kota menghampar di langit. Menatap indah, hampir surgawi. Tiba-tiba ia berbalik, menatapmu yang sedang diam-diam kau tatap. Tatapan yang lekat, sangat lekat. Seakan kau dan ia bertukar tempat. Mencocokkan rasa, mencocokkan keinginan. Kata-kata sembunyi dibalik isyarat tatapan, mengalir lembut seperti angin pengunungan.
Pagi meninggalkan malam, kembali kata-kata sederhana mengalir berangkat dari hati. Kata-kata sisa semalam. Tak terhingga. Kata-kata itu merentang begitu jauh dalam dirimu. Berjatuhan seperti salju, mengagumi wujudmu kokoh dan bijak. Kau terpukau sedemikian rupa hingga kau perlu memeluknya lagi seperti seorang anak kecil.
Sore hari yang hampir malam. Di depanmu, pohon sakura berdiri tegak. Sakura yang hampir berbunga. Sakura istrimu. Pemandangan itu menyenangkan hatimu, senang yang bertambah ketika kau mengajaknya memandang pantai lepas nun jauh di sana. Dalam hati kau bicara, semoga ini akan kekal tanpa kecewa. Terus-menerus, mengawali akhir, mengakhiri awal yang dinamai manusia sebagai cinta.
Dalam perjalanan kekal, sebuah bulan menjelma banyak bulan, hampir seribu. Ia beranak pinang membentuk serdadu. Membentuk sayap yang siap membawa dirimu dan terbang kesurga. Tempat orang yang mengagumi cinta. Sampai tiba waktunya menutup mata, ketika kau bersatu dengan tanah bumi. Kembali. Tanda hidupmu tetap di atas tanah. Kesaksian, pemaknaanmu akan di jaga oleh sayap-sayap yang kau ciptakan.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG TAK SEMPAT KUKUNJUNGI PERNIKAHANNYA)

DARI SUAMIMU

Awalnya kau berjalan menatap pagi sendiri. Lalu muncullah ia. Seraut wajah mengkisah dalam hidupmu. Dalam sebentang waktu yang panjang. Dalam harum biru. Tanpa akhir. Mengecup wajahmu yang tanpa rias, tanpa aksesoris, rambut jatuh hingga sebahu. Sekilas mimpi semalam terbayang. Mimpi yang kau ingat dengan jernih. Kau ungkapkan dalam bisik di senyummu. Ia mendekatkan telinganya, bukanlah sebenar telinga, tapi hati yang mencoba meresap semua kisahmu. Mengusap rambutmu, mengecupmu. Kecupan hening akan menenangkanmu ke pagi.
Saat matahari mulai meninggi, kau berdiri di pintu yang membuka setengah. Memandangi pria penguasa semesta dirimu. Langkahnya menuju pertaruhan dengan keringat. Teringat ucapannya sesaat lalu, yang manis dan meyakinkanmu bahwa ia akan kembali dengan senyum cerah. Kau membisu yang terbukungkus berbagai ragu. Dalam bisumu, kau mendengarkan suaranya menetralkan ragu, menjauhkan segala ketidakpastian dalam benakmu. Ketidakpastian yang kau tak tahu, hanya berharap ia juga merasa apa yang kau rasa. Kau tak lagi melihat akan ada duka ataukah bahagiah setelah semua ini, namun kembali ia meyakinkanmu dengan sihir manis, akan tinggal lama dalam dirimu.
Dan sore mulai menjelang. Seorang pria datang dengan wajah mirip martil, selamanya martil, untuk kebahagiaanmu dan buah didalam rahimmu. Ia lalu duduk di kursi kesayangannya. Menyandarkan tubuh sementara mata menutup melepaskan lelah. Kau dekati dia dengan gelisahmu dan melantumkan suara lembut membasahi raganya yang terbakar pijar. Ia mulai membuka mata kembali. Memandangimu, refleksimu dalam retina matanya serupa bidadari yang membawa bongkahan salju.
Malam, setelah semuanya melantumkan Do’a pada pemilik kebahagiaan. Seorang lelaki mengusap jemarimu, mengamit lenganmu, mengajak kedalam relaksasi yang dalam. Dan semesta sunyi dalam rangkulan hening. Desir angin pun tiba-tiba tak terasa. Tak terasa dingin, tak terasa panas. Yang terasa hanyalah sebuah kesaksian cinta. Mengalir bisu, sebisu mata lelaki yang berisyarat.
(UNTUK TEMAN-TEMANKU YANG TAK SEMPAT KUKUNJUNGI PERNIKAHANNYA)

Senin, 14 September 2009

Aku Salahkan Siapa

Aku bertanya
Kambing hitam punya siapa
Pagar halaman jadi rusak
Aku salahkan siapa?

Aku bertanya
Bangsa kita banyak harta
Yang dijaga pencuri
Aku salahkan siapa?

Aku bertanya
Apakah kita sudah buat roket
Malaysia sudah lama menunggu perang
Aku jadi serba salah!

Kamis, 10 September 2009

KEPAHLAWANAN

Pagi ini begitu sibuk. Masyarakat kota berjalan di trotoar dengan tujuan pagi yang sangat membebankan. Rupa-rupa air muka mereka tampakkan. Tergantung seragam yang mereka kenakan. Dasi yang begitu ketat tergantung dileher menunjukkan peluang dan hambatan dari tiap ujung keningnya. Seragam sekolah menunjukkan kepasrahan masa remaja dalam kekakuan gerak dan berimajinasi. Pakaian kumuh dan lusuh menunjukkan kekalahan hidup dan kepasrahan pada nasib. Masih banyak lagi rupa yang berjalan di trotoar itu. Trotoar depan rumah Pak Darmadi. Penguasaha muda di kota itu. Sebulan lalu dia memecat Boby. Penjaga rumahnya siang dan malam. Alasan kemalingan dan Boby gagal menghalangi niat para maling itu.
Saat itu tepat jam 2:00 dini hari. Seorang yang berpotensi menjadi maling profesional masuk dengan memanjat tembok pagar setinggi dua meter. Boby dengan sigap melompat dan menerkamnya dengan kekuatan yang muncul dari tanggung jawabnya sebagai penjaga. Tapi dia tidak punya senjata. Dan akhirnya kalah hanya dengan satu kali tendangan keras dari maling itu tepat mengenai dadanya. Dia tertelungkup. Mengerang kesakitan dan tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memandangi maling itu mengendap mendekati jendela rumah tanpa pengaman anti maling.
Paginya, begitu rasa sakit didadanya yang belum pulih betul, dia menjadi sasaran kemarahan majikannya. Terusir tanpa ada penjelasan darinya akan usaha yang mempertaruhkan nyawanya semalam. Hanya menunduk. Sesekali menoleh kemajikannya dan sekeliling halaman yang tak begitu luas. Dia berjalan menghampiri pagar dan pergi. Sekali lagi, dia terusir.
Pagi ini begitu sibuk. Berbagai merek dan model kendaraan lalu-lalang dijalan kota itu. Derunya begitu menenggelamkan pikiran-pikiran kreatif. Polusinya menyesakkan nafas. Bunyi klakson menandakan ketidaksabaran yang berlebihan dan kerakusan yang teramat sangat. Sesekali pengemudinya meneriaki dengan nuansa makian kepada pengemudi lainnya :
“we….telaso, jalanko cepat!”
Atau
“hati-hatiko ces, pakai weserko!”
Dan atau
“tolona anne……!”
Atau mungkin
“mako mati?”
Begitu ragam pagi ini kata-kata yang menunjukkan ketidaksabaran dari para pengemudi. Seragam makanan yang tersaji didepan hidung Betriks. Penjaga baru di rumah Pak Darmadi. Penjaga yang menggantikan tugas Boby siang dan malam. Baru dua minggu dia bertugas dan cukup meyakinkan Pak Darmadi dengan body yang lebih besar dan kekar dibandingkan Boby. Tentu akan menjadi pertimbangan bagi para maling untuk mencuri melihat body Betriks yang begitu besar kekar yang bisa menerkam tiga orang sekaligus meskipun belum teruji.
Pagi ini begitu sibuk. Tapi tidak begitu sibuk bagi Pak Darmadi. Dia masih bermalas-malasan di tempat tidur. Sebagai pimpinan Perusahaan Topaz, dia tidak terlalu mengikat dirinya dengan waktu kantorannya. Lelahnya semalam belum pulih. Semalaman dia mendapat undangan dari Pak Sutomo, Direktur Bank Kapor, di Club Kembang Peluk. Aneka macam dia nikmati di club itu hingga lelahnya begitu berat. Di pertengahan malam dia pulang kerumahnya dengan kepala yang sudah miring kekiri dan kekanan. Baju dan celana yang kusut tidak beraturan seperti prajurit perang yang baru saja duel one to one. Dia mebuka pagar dan dilihatnya Betriks tetap terjaga, berdiri kokoh bak hulk hogan. Pak Darmadi tersenyum puas :
“baguuus……, lanjutkan kerjamu!” sambil mengelus-elus pundak Betriks.
Pagi ini begitu sibuk. Ceceran darah yang begitu banyak didepan rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang tahu apakah ceceran darah itu adalah milik manusia atau binatang. Orang-orang yang lewat didepan rumah Pak Darmadi tidak begitu mempersoalkan. Mereka berjalan dengan berbagai macam dipikirannya. Sekali lagi sesuai dengan seragam yang dikenakannya. Begitu juga dengan seisi rumah Pak Darmadi. Tidak ada yang mempertanyakan kenapa ada darah di depan rumahnya.
Ceceran darah itu kian lama kian meresap dan menyatu keras dengan aspal jalanan. Mengering oleh hembusan nafas knalpot kendaraan. Dipermukaannya penuh dengan debu jalanan. Terkadang terlindas ban kendaraan yang lalu lalang.
Pagi ini begitu sibuk. Beberapa pejalan kaki terlihat menutup hidup dan mulutnya setelah sesempat mungkin menengok ke selokan sedalam 2 meter di depan rumah Pak Darmadi. Meludah beberapa kali, entah karena jijik atau kebiasaan. Ada apa di dalam selokan itu?
Boby, yah… Boby yang terlentang penuh darah. Darahnya begitu banyak hingga menutupi seluruh bagian-bagian tubuhnya. Dia tidak bergerak sedikit pun. Mati. Sungguh mekanisme kematian yang sangat tragis. Didadanya terdapat 3 tusukan badik sehingga mengeluarkan darah yang begitu banyak. Mulutnya pun mengeluarkan darah. Tampaknya sebelum tusukan badik itu mendarat di dadanya, pukulan telak berkali-kali lebih dahulu mendarat didada dan mukanya.
Pagi ini begitu sibuk. Tidak ada yang tahu cerita dini hari tadi. Penyebab kematian Boby didepan rumah Pak Darmadi. Kepahlawanannya telah mencegah niat para maling untuk mencuri. Maling yang sama yang telah membuatnya terusir dan kehilangan kepercayaan dari Pak Darmadi.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika maling yang sama sebulan lalu datang dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi. Pengalaman sebulan yang lalu tidak membuatnya kuatir untuk mendapatkan hasil yang memuaskan. Dia tidak tahu kalau Boby sudah di pecat dari tugasnya sebagai penjaga. Kini dia harus berhadapan dengan penjaga yang berbadan lebih besar dan kekar dari Boby.
Saat itu pukul 2:00 dini hari ketika Boby menyempatkan diri melintas didepan rumah Pak Darmadi. Dia melihat maling yang sama sebulan lalu mengintai dibalik pagar Pak Darmadi. Dengan rasa tanggungjawab yang masih tersisah sebagai penjaga dan keinginan untuk berbuat di sisa hidupnya, dia berlari sekencang mungkin menghampiri maling itu. Melompat dan menerkam dengan sekuat tenaga. Terjadi perkelahian yang begitu seru :
“Biadab, mati kau” maling itu melancarkan tendangan bertubi-tubi kearah dada Boby. Boby terlempar dan tersandar di pagar. Tersungkur, meski merasakan sakit yang sangat hingga mengeluarkan darah di mulutnya, dia berusaha bangun dan kembali menerkam. Kembali terjadi perkelahian. Kali ini Boby berhasil menggigit tangan dan kakinya. Lukanya mengeluarkan darah yang banyak. Boby belum puas. Dia melompat dan berhasil mencakar muka maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Tapi dia mengeluarkan sebilah badik yang tersembunyi dari balik bajunya dan menusukkannya tepat di dada kiri Boby. Boby mengerang. Sakit tentu dan mengeluarkan darah. Mengalir begitu deras. Kembali dia tersungkur di jalan depan rumah Pak Darmadi. Didalam pikirannya hanyalah menang atau mati. Sebuah tekad yang begitu berani dalam hidup. Dengan tekadnya itu, dia kembali berdiri. Sempoyongan dan menerkam selanjutnya menggigit paha maling itu. Maling itu mengerang kesakitan. Juga mengeluarkan darah dan tersungkur. Kedua makhluk itu silih berganti menyerang hingga mereka bergulingan diatas aspal jalan yang sudah sepi. Begitu lama pergumulan itu hingga kemudia maling itu kembali meraih badiknya dan menusukkan sebanyak dua kali di dada Boby. Kini Boby benar-benar tidak bisa berkutik lagi. Darahnya semakin banyak. Kembali tersungkur dan tidak bisa bangun kembali. Matanya menatap tajam kearah maling itu seolah-olah dia ingin mengatakan “Akulah pemenang, karena kau tidak adil. Kau memakai badik. Sungguh manusia tidak pernah adil”. Itulah kata terakhir dari Boby sebelum dia gugur sebagai pahlawan. Maling itu berdiri tertatih dengan luka yang banyak di sekujur tubuhnya. Susah payah dia berdiri dan mengangkat tubuh Boby dan membuangnya ke selokan. Setelah itu, maling itu berdiri sejenak menatap lama rumah Pak Darmadi. Lalu berjalan, pergi. Dia mengurungkan niatnya malam itu untuk mencuri. Lukanya begitu banyak dan sekujur tubuhnya penuh dengan darah sehabis perkelahian sengit dengan Boby yang berakhir dengan kematian Boby.
Pagi ini begitu sibuk. Ternyata Betriks baru bangun dari tidurnya. Dia luput dari kejadian dini hari tadi. Kejadian yang hampir mengancam karirnya sebagai penjaga rumah Pak Darmadi. Bobylah yang telah menyelamatkan karir dan nyawanya dengan mengorbankan hidupnya.
Pagi ini benar-benar begitu sibuk hingga lupa memberi penghargaan terhadap Boby, sang pahlawan. Tubuhnya tetap terlentang di selokan. Bercampur kotoran dan sampah manusia. Tubuhnya penuh darah, dan mulutnya menganga seolah-olah dia ingin mengatakan :
“Dalam sejarah, yang aku temukan adalah kemengan tanpa penghargaan”
Pagi ini begitu sibuk. Boby hanyalah binatang sejenis Anjing. Tapi dia adalah pahlawan. Tuhan sangat memuja kepahlawanan. Dan aku begitu ingin menjadi seperti Boby. Seperti anjing penjaga. Tidak perlu berbagai macam seragam untuk menjaga negara ini. Tidak perlu senjata ataupun undang-undang yang begitu rumit. Cukup cakar dan gigi taring untuk menyerang musuh.


Makassar, Maret 2007

Rabu, 09 September 2009

MUHASABAH (Emha Inspiration)

Kalau memang yang engkau pilih bukan kearifan untuk berbagi
melainkan nafsu untuk menang sendiri
maka terimalah kehancuran bagi yang kalah
dan terimalah kehinaan bagi yang menang

Kalau memang yang mengendalikan langkahmu
hanyalah rasa senang dan tidak senang kepada ini atau tidak senang kepada itu
dan bukan pandangan yang jujur terhadap kebenaran
maka segera gusur dan buanglah mereka yang engkau benci
serta bersiaplah engkau sendiri akan memasuki jurang

Kalau memang yang bisa engkau pahami hanyalah kemauanmu,
kepentingan dan nafsumu sendiri, dan bukan kerendahan hati untuk merundingkan
titik temu kebersamaan
maka siapkan kekebalan dari benturan-benturan dan luka,
untuk kemudian orang lain telah pula bersiap menggali tanah untuk kuburmu.


Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Volkswagen Cars. Powered by Blogger